Minggu, 09 Juni 2013

Old City

Bus itu terus melaju, tenang seperi tak ada rintangan yg berarti. Kontur badan jalan pun dikuasai sang pengemudi dengan cakap. Kondisi jalanan yang cukup lengang pun menambah motivasi sang pengemudi memacu pedal gasnya. Sesekali terdengar teriakan seorang kondektur menyapa orang orang yang berada di pinggir jalan. Tak menyebut namanya satu satu, melainkan hanya menyebut beberapa nama daerah. Hmmmm mungkin itu adalah tujuan yg akan di lalui oleh bus ini. Yah.. Mayasari Bakti. Sebuah bus yang masih tergolong elit dan nyaman untuk di jadikan alat transportasi harian. Berpendingin ruangan, murah, dan nyaman. Tak seperti kendaraan umum biasanya yang berisik, panas dan menebarkan aroma yang beragam. Namun bus ini masih menjaga kenyaman penumpangnya. Tak ada musisi jalanan yang berdialog di dalam, hanya sebuah layar kaca kecil yang terpampang di bagian depan. "kita turun dimana Zi?" tanya Hakim "di veteran aja" jawab Zi "owww, iya..!" Sepertinya hakim sudah mengetahui dimana kami akan turun dari bis nanti. Namun aku masi diam tak berkomentar. Masih menerawang kemana arah jalan yang akan kami tuju. Walaupun aku tau tujuan kami kemana. Bus terus malaju dengan gagahnya, melalui kendaran kendaraan pribadi yg mencoba menghadang keperkasaannya. Berjalan di bawah rerindangan daun tanaman jalanan. Udara pagi pun menambah kesan sejuk pemandangan sekitar. Tak banyak ku dengar suara teriakan klakson, walau sekalinya ku dengar bisa membuat degub jantungkun tak lagi normal. "masih jauh Zi?" tanya ku "lumayanlah, masih sekitar 30 menit lg." "owww, sampe kota tua?" "hadehhh, ya gak la, sampe veteran" "hmmmm ya maaf, namanya juga gak tau" "ya ya ya baiklah..." Bus tetap melaju kencang, seakan tak peduli dengan apa yang terjadi di dalamnya. Kuliahat di sekitar ku, semuanya dengan kesibukannya masing masing. Tidur, ngobrol, makan, tertawa dan mendangarkan musik dengan prangkat headset-nya, seperti aku. "permisi mas..!" tiba tiba seoramg kondektur menegurku. Oww iya, ini. Aku pun langsung memeberikan selembar kertas bernominal kepada kondektur itu. "Veteran mas" kataku singkat. Hakim dan Zi pun mengikuti apa yang kulakukan. Kondektur itu pun langsung memberikan kembalian uang kami masing masing. ***** Seperti berada di bawah jalan layang, persimpangan ani adalah rute terakhir kami menggunakan jasa bis ini. Salanjutnya kami harus menggunakan angkutan khas ibu kota sejak tahun berapa yang aku sendiri tidak tahu kapan mulai dioprasikan. Hmmm perjalanan pertamaku, pengalaman pertamaku menyelusuri kota ini baru di mulai. Pengalaman pertamaku bergonta ganti bis saat melakukan perjalanan dalam kota. Tidak ada halte, kami hanya berdiri menunggu di tepi jalan, tepat berada di depan kantor pebankan milik negara. Hmmm..panas..! Yah tidak ada tempat berlindung dari sengatan panas matahari, yang ada hanya sebuah kursi panjang tepat di depan penjual gorengan yang sudah penuh dengan calon penumpang lain. Setelah sekian lama, terliahat dari kejauhan sebuah bis berwarna merah biru menuju ke arah kami. Sebuah bis tua dan mungkin dengan kondisi mesin seadanya serta bangga dengan suara berisiknya itu berhenti tepat di depan kami. Hmmm.. Zi pun langsung mengistruksikan aku dan Hakim agar segera naik. Hanya ada beberapa orang di dalamnya. Aku dan Hakim duduk bersebelahan, sedangkan Zi berda di depan kami. Hawa panas langsung menyengat badan ku, gerah dan sebagainya bercampur menjadi satu. Tidak lama, bis langsung bergerak. Udara mulai bertukar melalui celah calah kaca jendela dan pintu yang tidak pernah ditutup. Seiring dengan kecepatan bis, akhirnya udara panas mulai menghilang, dan kembali lagi ketika bis berhenti. Kuperhatikan dengan seksama kondisi bis ini dari ujung ke ujung. Bis yang dulu hanya aku lihat sepintas dari layar kaca itu, kini aku berada di dalamnya. Benar benar sudah tua, mungkin lebih tua dari usiaku. Suaranya amat sangat berisik, di tambah lagi dengan kondisi rangka yang hampir di setiap bagian tak lagi melekat dengan sempurna, yang akhirnya menimbulkan suara akibat bergesekan satu dengan yang lainnya. Lantai dan atapnya yang sudah terlihat keropos menambah aksen begitu tuanya bis ini. Dan yang terakhir, kursinya pun tidak lagi dilapisi dengan busa berbalu bahan kulit atau baldu yang lebut dan empuk, melainkan hanya berbahankan pelastik layaknya kursi antrian di loket bis. Bis terus meluju dengan kekuatan yang ia miliki, menyusuri jalanan yang setiap hari ia lewati namun sangat asing bagiku. Melewati komplek pemakamam, dari yang beragama islam, kristen, budha dan bahkan makam pahlawan bangsa kita. Trus melaju dan melewati sebuah pasar kumuh yang letaknya di sekitar perlintasan kereta, terlihatku sekilas para penjual pakaian bekas dan baru, penjual sayur dan makanan ringan. Aku dan Hakim hanya diam. Seakan kami sangat menikmati perjalanan ini. Sedangkan Zi, aku tak tahu apa yang dilakukam Zi. Karna terhalang orang orang yang berdiri di sepanjang gang pembatas sayap kiri dan kanan. Kulirik jam tangan ku, sudah sekitar 30 menit kami berada di bis ini. Ingin bertanya dengan Zi, tapi kondisi tidak memungkinkan. Akhirnya aku hanya diam dan memperhatikan daerah yang dilalui bis ini. Tiba tiba bis berjalan melambat, kondisi kontur jalan juga mulai tidak sebagus tadi, dan ternyata kami sudah sampai di tempat transit antar bis kota. Yah, sebuah pusat perbelanjaan semi modern yang menyediakan halte angkutan umum modern ibu kota. Jam 10 pagi, namun kondisi gedung ini sudah ramai. Zi terus jalan menuju lantai bawah. Kami pun mengikutinya, berjalan di antara kerumunan orang orang yang memadati gedung ini. Tiba tiba Zi berhenti, matanya mencari cari, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Ke kanan kiri dan memutar, pandangannya cukup jauh, tapi dia tidak menemukan apapun. "cari siapa Zi?" tanya ku "Elfa. Mana yah dia? Apa belum nyampe mungki ya.." "owww.. Iya, mungkin belum nyampe" "ya sudah, kita tunggu saja, mungkin sebentar lagi. Memangnya janjian jam berapa sama Elfa? Hakim menyambung percakapan kami "sama Elfa juga ya?" sahut ku "iya, jam 10 si seharusnya" jawab zi ***** Dari kejauhan tampak seseorang perempuan melambaikan tangannya, ia berdiri tidak jauh dari loket pembelian tiket. Zi pun langsung bergegas menuju ke perempuan itu. Seorang perempuan yang kira kira masi seumuran dengan kami. Berhijab dan berkacamata. Sebuah ransel tersangkut di depan badannya... bersambung...